Ini cerita tentang seorang gadis yang berteman dengan ketakutan disetiap ceritanya. Kudengar cerita ini hasil dari
menguping pembicaraannya dengan seorang teman. Ini merupakan sedikit
dari rahasianya. Tapi, biar kuceritakan padamu sedikit yang kudengar.
Disclaimer: Plot mungkin agak kacau, ini
karena ada seorang gadis di sampingku yang kerap menggelitiki nadi sampai
aku tak bisa konsentrasi. Kadang ia membisiki sesuatu tepat setelah dua
atau tiga kalimat diketik. Ini benar-benar distraksi.
---
"Tak
apa, sekarang aku memiliki peran baru. Aku mengagumi nya sejak dulu, dan aku adalah si gadis nakal yang berusaha
menyenangkan dia, si malaikat baik hati. Aku memiliki perasaan. Biar saja kau anggap ini gila. Aku
senang. Ini memang gila. Tapi aku menyukainya. Jadi, mungkin tak
apa-apa."
Kulihat
ia tersenyum dari balik poninya yang menutupi mata kirinya. Lalu ia menyibaknya
dan mulai duduk sambil menggoyang-goyangkan kaki.
"Tapi kau jangan bilang siapa-siapa. Karena dia adalah laki-laki yang aku anggap paling berpengaruh dalam setiap perubahan moodku. Senyum manisnya menjilat seluruh kota dengan wajah semanis kucing kecil. Tak hanya manis, ketika awan berubah gelap, si malaikat baik hati ini selalu saja membuatku takut akan kenyataan selanjutnya. Aku takut kalau aku mengganggunya. Bahkan terkadang aku benci saat kami pertama kali bertemu dan menghabiskan waktu berbincang semalaman. Aku selalu saja sangat merindukan saat-saat seperti itu. Kau tahu apa rasanya bisa dekat dengan laki-laki yang kau suka selama beberapa jam? Huh, tapi aku benci sebuah pengharapan. Ah, aku ini adalah seorang gadis yang sangat payah."
"Tapi kau jangan bilang siapa-siapa. Karena dia adalah laki-laki yang aku anggap paling berpengaruh dalam setiap perubahan moodku. Senyum manisnya menjilat seluruh kota dengan wajah semanis kucing kecil. Tak hanya manis, ketika awan berubah gelap, si malaikat baik hati ini selalu saja membuatku takut akan kenyataan selanjutnya. Aku takut kalau aku mengganggunya. Bahkan terkadang aku benci saat kami pertama kali bertemu dan menghabiskan waktu berbincang semalaman. Aku selalu saja sangat merindukan saat-saat seperti itu. Kau tahu apa rasanya bisa dekat dengan laki-laki yang kau suka selama beberapa jam? Huh, tapi aku benci sebuah pengharapan. Ah, aku ini adalah seorang gadis yang sangat payah."
ia menundukkan kepalanya. Nada
bicaranya mulai samar, hampir seperti orang sedang menangis. Ia kadang
melihat ke langit-langit dan menatap temannya kembali. Untungnya ia tak
menyadari keberadaanku.
"Panggung tertata. Make up siap. Kostum tepat. Lampu menyala. Drama mulai. Ekspresi, kata. Tangis, tawa. Tarian, nyanyian. Seruan, pujian. Drama selesai. Lampu panggung dimatikan. Make up dibersihkan. Kostum kembali ke lemari. Aku berdiri. Di sudut sendiri. Lelah menghampiri. Aku benci panggung. Aku benci drama. Aku benci make up. Aku benci kostum. Aku benci. Biar panggung itu kurusak, kostum itu kukoyak. Make up itu kubuang. Drama ini mengekang! Aku benci! Gelapkan panggung. Matikan lampu tribun. Usir semua penonton. Kembalikan tiket mereka. Aku cuma ingin gelap. Semua! Hentikan musik dan tarian. Canda dan nyanyian. Tutup gedung teater. Kunci semua pintu. Dan pergi! Pergi kalian semua! Aku ingin tertawa, yang bukan drama. Aku ingin menangis, yang bukan pura-pura. Aku ingin keberanian, yang bukan drama. Aku ingin aku. Tanpa penutup muka. Tanpa make up. Tanpa topeng. Tanpa kostum. Tanpa panggung. Tanpa sorotan lampu.
Lelah, kau tahu?"
Ah, sebentar! Aku harus meladeni gadis di sampingku dulu. Ia sungguh mengganggu. Akan kulanjutkan sebentar lagi.
Ah, sebentar! Aku harus meladeni gadis di sampingku dulu. Ia sungguh mengganggu. Akan kulanjutkan sebentar lagi.
No comments:
Post a Comment